BIYANTO, Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
Memasuki tahun-tahun politik menjelang Pemilu 2024, politisi mulai level pusat, provinsi, hingga kabupaten dan kota semakin rajin hadir di tengah-tengah masyarakat. Di tengah kegiatan menyapa calon pemilih itulah, mereka berjanji memperbaiki nasib rakyat.
Di antara janji yang acapkali diutarakan adalah menyediakan layanan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. Bahkan, sebagian politisi dengan gagah menjanjikan pendidikan berkualitas yang gratis.
Biasanya janji pendidikan gratis itu diutarakan bersama dengan program kesehatan gratis, tersedianya lapangan pekerjaan, perbaikan kesejahteraan, dan pelayanan sosial. Semua janji politik itu jelas dikemukakan dalam meraih dukungan dari calon pemilih.
Di antara janji yang acapkali diutarakan adalah menyediakan layanan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau.
Calon pemimpin kita, termasuk calon anggota legislatif (caleg), tampaknya tahu betul harapan calon pemilih. Pertanyaannya, bagaimana merealisasikan janji politik saat yang bersangkutan menjadi presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan anggota legislatif?
Jawabnya, sebagian kecil dari janji-janji tersebut sukses direalisasikan menjadi program unggulan. Sebagian besar, janji-janji politik itu menguap tidak jelas rimbanya. Anehnya, janji-janji itu tetap menjadi program politik yang terus dikampanyekan.
Mereka yang terus menyampaikan janji-janji politik itu pun berkali-kali sukses meraih jabatan dan kekuasaan. Padahal dalam kenyataannya, mereka tak pernah sukses merealisasikan semua program yang dijanjikan saat berkampanye.
Barangkali itulah anomali dalam budaya politik kita. Program pendidikan berkualitas yang gratis termasuk sulit direalisasikan.
Barangkali itulah anomali dalam budaya politik kita. Program pendidikan berkualitas yang gratis termasuk sulit direalisasikan.
Pejabat negara dari kalangan eksekutif dan legislatif tampaknya belum menemukan rumus jitu untuk mewujudkan pendidikan bermutu dengan biaya terjangkau, bahkan gratis. Faktanya di beberapa daerah justru terjadi fenomena komersialisasi pendidikan.
Di antara indikatornya, semakin tingginya donasi yang harus dikeluarkan orang tua untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas.
Ironisnya, fenomena komersialisasi itu bukan hanya terjadi pada lembaga pendidikan swasta berkategori mapan-besar, melainkan juga di sekolah yang berpelat merah alias sekolah negeri. Pihak yang paling merasakan dampak komersialisasi pendidikan adalah orang tua.
Orang tua harus menyiapkan dana berlebih untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas bagi buah hatinya. Pada konteks inilah, negara harus hadir untuk meminimalkan fenomena komersialisasi pendidikan. Sebab, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas negara.
Namun harus diakui, tidak mudah merealisasikan amanah konstitusi dan janji politik bidang pendidikan. Apalagi, sejak diterapkannya kebijakan alih kelola pendidikan tingkat SMA dan SMK dari kabupaten/kota ke provinsi.
Dampak kebijakan itu, persoalan donasi pendidikan terus-menerus menjadi isu krusial. Hal itu terjadi karena aggaran pemerintah provinsi (pemprov) tidak mampu membiayai secara penuh kebutuhan operasional SMA dan SMK.
Sementara itu, pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot) telanjur memahami, pendidikan SMA dan SMK menjadi tanggung jawab pemprov, seiring penerapan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Konsekuensi UU 23 Tahun 2014, pemkab dan pemkot umumnya tidak lagi menganggarkan biaya penyelenggaran pendidikan SMA dan SMK. Mereka hanya mengalokasikan anggaran untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) serta pendidikan dasar (SD dan SMP).
Jika ego sektoral pejabat pemprov, pemkab, dan pemkot terus terjadi, janji pendidikan gratis pasti akan sulit direalisasikan.
Jika ego sektoral pejabat pemprov, pemkab, dan pemkot terus terjadi, janji pendidikan gratis pasti akan sulit direalisasikan. Apalagi, jujur harus diakui, masih banyak kepala daerah yang belum well educated.
Hal itu setidaknya dapat diamati dari komitmen mereka mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 presen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sebagaimana amanah undang-undang.
Komitmen terhadap besaran pengalokasian anggaran pendidikan itu penting untuk mewujudkan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. Pertanyaannya, jika kondisi tidak berubah, bagaimana nasib program pendidikan gratis?
Jika pertanyaan itu diajukan kepada penyelenggara pendidikan negeri dan swasta, jawabannya relatif sama. Mereka serempak akan mengatakan, pendidikan gratis hanya terucap dalam janji politik dan tidak pernah terwujud dalam kenyataan.
Pendidikan gratis hanya terucap dalam janji politik dan tidak pernah terwujud dalam kenyataan.
Jika pemerintah gagal menunaikan janji politik di bidang pendidikan, terutama bagi warga miskin, semakin benar apa yang diutarakan Eko Prasetyo dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah (2004).
Buku Eko ini merupakan kritik sosial terhadap pejabat negeri yang gagal menunaikan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau.
Alih-alih mewujudkan pendidikan berkualitas gratis, yang terjadi justru biaya pendidikan semakin mahal sehingga warga miskin tidak mampu sekolah. Jadilah orang miskin dilarang sekolah karena menurut Eko, sekolah hanya diperuntukkan bagi orang-orang berduit.
Hanya mereka yang bisa menikmati persekolahan di tengah fenomena komersialisasi pendidikan. Begitulah nasib janji politik di bidang pendidikan.